Menyulam Harapan, Mahasiswa UMM Hadir Mengabdi di Desa Kojadoi dan Waioti NTT

mahasiswa umm mengabdi

Modernis.co, NTT – Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, menyimpan kisah yang jarang terdengar di hiruk-pikuk kota besar. Di Desa Kojadoi, anak-anak sekolah dasar setiap pagi harus menapaki jalan batu di atas laut dangkal demi bisa belajar. 

Ombak kecil sesekali menghantam kaki mereka, sementara matahari pagi menyinari perairan biru yang jernih. “Kadang kalau pasang tinggi dan ombak kami harus tunggu air surut dulu, baru bisa jalan,” ujar yumna seorang siswi kelas 3 SD dengan wajah polos penuh semangat.

Kondisi itu yang pertama kali menyambut mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) saat menginjakkan kaki di Kojadoi untuk melaksanakan Program Pengabdian Masyarakat oleh Mahasiswa (PMM). Mereka mengaku takjub sekaligus terenyuh. 

“Melihat anak-anak berjalan jauh dan menyeberang laut hanya untuk sekolah, itu jadi pelajaran berharga buat kami. Di kota, akses pendidikan mudah. Di sini, pendidikan adalah perjuangan setiap hari,” tutur Selva, salah satu mahasiswa peserta PMM.

Kehadiran mahasiswa UMM di Kojadoi dan Kelurahan Waioti bukan hanya sekadar menjalankan tugas akademik. Mereka datang untuk berbagi ilmu, berkolaborasi dengan masyarakat, dan sama-sama belajar arti pengabdian. Program yang mereka bawa disesuaikan dengan kebutuhan warga: pelatihan digital, eksplorasi budaya dan pariwisata .

Di Kojadoi, pelatihan digital menjadi salah satu kegiatan yang paling disambut warga. Para mahasiswa mengajarkan cara menggunakan media sosial untuk memasarkan hasil laut dan kerajinan tangan.

“Selama ini kami hanya jual ikan di pasar. Kalau tidak habis, ya dibawa pulang lagi,” kata Bobi seorang nelayan setempat. “Sekarang anak-anak muda bantu foto dan pasang di internet. Ada yang pesan langsung. Kami senang sekali.”

Selain pelatihan, mahasiswa juga melakukan eksplorasi budaya dan pariwisata. Mereka mendokumentasikan kehidupan sehari-hari masyarakat, mulai dari tradisi menangkap ikan, cerita tua tentang asal-usul desa, hingga panorama laut yang memukau. Harapannya, potensi Kojadoi dapat lebih dikenal luas.

“Kami ingin desa ini tidak hanya jadi cerita lokal, tapi juga bisa dilihat orang banyak. Pariwisata berbasis budaya bisa jadi kekuatan Kojadoi,” ungkap Selva, mahasiswa yang bertugas di bidang pariwisata.

Berbeda dengan Kojadoi, di Kelurahan Waioti fokus kegiatan lebih banyak menyentuh bidang kesehatan. Bersama tenaga medis setempat, mahasiswa UMM membantu menghidupkan kembali Posyandu. 

Mereka ikut mendampingi ibu-ibu saat menimbang balita, mengisi kartu kesehatan, hingga mengedukasi tentang gizi. “Kadang masyarakat kurang paham pentingnya makanan bergizi untuk anak. Kami coba jelaskan dengan cara sederhana,” jelas selva , salah satu mahasiswa

Kegiatan penyuluhan kesehatan juga dilakukan secara terbuka. Masyarakat diajak memahami pentingnya pola hidup bersih, cuci tangan, dan menjaga lingkungan.

“Sekolah kesehatan ini sangat membantu kami. Mahasiswa datang bukan hanya bicara, tapi juga praktik bersama warga,” kata Rosa, seorang kader Posyandu di Waioti.

Di luar program formal, ikatan antara mahasiswa dan masyarakat terjalin erat. Mereka makan bersama, mendengarkan cerita orang tua, bahkan ikut dalam kegiatan adat. 

Mahasiswa belajar tentang tenun ikat, ikut ke laut bersama nelayan, hingga duduk malam hari sambil mendengar cerita sejarah desa. “Di sini, kami belajar arti gotong royong. Masyarakat menerima kami seperti keluarga sendiri,” ujar Rina, mahasiswa UMM dengan mata berbinar.

Kehadiran mahasiswa membuat masyarakat merasa diperhatikan. “Kami senang ada anak-anak muda dari jauh datang ke desa kami. Mereka tidak hanya belajar, tapi juga bantu kami,” ungkap Hamsehe, tokoh masyarakat Kojadoi. 

“Semoga nanti ada lagi yang datang, supaya desa ini bisa lebih maju.”

Program PMM ini mengajarkan bahwa pengabdian bukanlah tentang siapa yang lebih pintar, melainkan tentang siapa yang mau berjalan bersama. Mahasiswa menyumbangkan ilmu, sementara masyarakat memberikan pelajaran hidup yang tak ternilai. 

Dari jalan batu yang ditempuh anak-anak menuju sekolah, dari pelatihan digital sederhana hingga Posyandu di balai desa, semua menyatu menjadi mosaik kecil yang penuh harapan.

“Pengabdian ini membuat kami sadar, ilmu bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk sesama. Dan kami belajar banyak dari masyarakat NTT—tentang kesederhanaan, semangat, dan keteguhan hati,” tutup Dwi, mahasiswa UMM yang kini merasa Kojadoi dan Waioti sudah menjadi bagian dari rumah keduanya.

Di ujung cerita, Kojadoi dan Waioti kini bukan hanya nama desa, melainkan simbol keteguhan dan kolaborasi. Mahasiswa UMM pulang dengan bekal pengalaman yang tak ternilai, sementara masyarakat setempat menyimpan jejak perubahan kecil yang bisa tumbuh menjadi harapan besar.

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment